Istilah kepemimpinan
bukan merupakan istilah baru bagi masyarakat. Di setiap organisasi,
selalu ditemukan seorang pemimpin yang menjalankan organisasi. Pemimpin
berasal dari kata “leader” yang merupakan bentuk benda dari “to lead”
yang berarti memimpin. Untuk memahami pengertian kepemimpinan secara
jelas, maka perlu dikaji beberapa definisi yang dikemukakan para ahli
kepemimpinan.
Banyak ahli yang
mengemukakan pengertian kemimpinan. Feldmon (1983) mengemukakan bahwa
kepemimpinan adalah usaha sadar yang dilakukan pimpinan untuk
mempengaruhi anggotanya melaksanakan tugas sesuai dengan harapannya. Di
sisi lain, Newell (1978) mengemukakan bahwa kepemimpinan adalah suatu
proses mempengaruhi orang lain untuk mencapai pengembangan atau tujuan
organisasi. Kedua pendapat tersebut sesuai dengan pendapat Stogdil yang
mengemukakan bahwa kepemimpinan adalah proses mempengaruhi aktifitas
kelompok untuk mencapai tujuan organisasi (Wahyosumidjo, 1984).
Berdasarkan beberapa
definisi yang dikemukakan para ahli kepemimpinan tersebut, dapat
digarisbawahi bahwa kepemimpinan pada dasarnya adalah suatu proses
menggerakkan, mempengaruhi dan membimbing orang lain dalam rangka untuk
mencapai tujuan organisasi. Ada empat unsur yang terkandung dalam
pengertian kepemimpinan, yaitu unsur orang yang menggerakkan yang
dikenal dengan pemimpin, unsur orang yang digerakkan yang disebut
kelompok atau anggota, unsur situasi dimana aktifitas penggerakan
berlangsung yang dikenal dengan organisasi, dan unsur sasaran kegiatan
yang dilakukan.
Sekolah merupakan salah
satu bentuk organisasi pendidikan. Kepala sekolah merupakan pemimpin
pendidikan di sekolah. Jika pengertian kepemimpinan tersebut diterapkan
dalam organisasi pendidikan, maka kepemimpinan pendidikan bisa diartikan
sebagai suatu usaha untuk menggerakkan orang-orang yang ada dalam
organisasi pendidikan untuk mencapai tujuan pendidikan. Hal ini sesuai
dengan pendapat Nawawi (1985) yang mengemukakan bahwa kepemimpinan
pendidikan adalah proses mempengaruhi, menggerakkan, memberikan
motivasi, dan mengarahkan orang-orang yang ada dalam organisasi
pendidikan untuk mencapai tujuan pendidikan.
Dalam organisasi
pendidikan yang menjadi pemimpin pendidikan adalah kepala sekolah.
Sebagai pemimpin pendidikan, kepala sekolah memiliki sejumlah tugas dan
tanggung jawab yang cukup berat. Untuk bisa menjalankan fungsinya secara
optimal, kepala sekolah perlu menerapkan gaya kepemimpinan yang tepat.
Peranan utama
kepemimpinan kepala sekolah tersebut, nampak pada pernyataan-pernyataan
yang dikemukakan para ahli kepemimpinan. Knezevich yang dikutip
Indrafachrudi (1983) mengemukakan bahwa kepemimpinan adalah sumber
energi utama ketercapaian tujuan suatu organisasi. Di sisi lain, Owens
(1991) juga menegaskan bahwa kualitas kepemimpinan merupakan sarana
utama untuk mencapai tujuan organisasi. Untuk itu, agar kepala sekolah
bisa melaksanakan tugasnya secara efektif, mutlak harus bisa menerapkan
kepemimpinan yang baik.
Ada banyak teori gaya
kepemimpinan yang bisa diterapkan kepala sekolah. Bila ditelaah dari
perkembangan teori, ada banyak teori kepemimpinan yang bisa ditelaah
untuk mengkaji masalah kepemimpinan. Teori kepemimpinan yang
pertama-tama dikembangkan adalah teori sifat atau trait theory. Pada
dasarnya teori sifat memandang bahwa keefektifan kepemimpinan itu
bertolak dari sifat-sifat atau karakter yang dimiliki seseorang.
Keberhasilan kepe-mimpinan itu sebagian besar ditentukan oleh
sifat-sifat kepribadian tertentu, misalnya harga diri, prakarsa,
kecerdasan, kelancaran berbahasa, kreatifitas termasuk ciri-ciri fisik
yang dimiliki seseorang. Pemimpin dikatakan efektif bila memiliki
sifat-sifat kepribadian yang baik. Sebaliknya, pemimpin dikatakan tidak
efektif bila tidak menunjukkan sifat-sifat kepribadian yang baik
Penelitian tentang
kepemimpinan berdasarkan trait theory ini telah banyak dilakukan.
Stogdil membedakan tiga karakteristik yang menunjukkan pemimpin yang
efektif, yaitu (1) kepribadian, (2) kemampuan, dan (3) ketrampilan
sosial (Feldmon & Arnold, 1983). Pada perkembangan selanjutnya, oleh
Bass dan Stogdil, diklasifikasi menjadi dua, yaitu traits yang antara
lain mencakup karakter tegas, bekerja sama, berpengaruh, memiliki
keyakinan diri, energik, dan bertanggung jawab, dan skill yang antara
lain mencakup pandai, kreatif, lancar berbicara, memiliki kemampuan
konseptual dan ketrampilan sosial. Dari sejumlah traits tersebut,
selanjutnya diklasifikasi menjadi lima dimensi besar, yaitu surgence,
agreeableness, conscientiousness, emotional stability, dan intellectance
(Lunenburg & Ornstein, 2000).
Berdasarkan beberapa
hasil studi, ditemukan keterbatasan trait theory yakni terlalu
menekankan pada karakter personal pemimpin. Keberhasilan kepemimpinan
tidak semata-mata ditentukan oleh karakter personal, tetapi justru
banyak ditentukan dari apa yang dilakukan pemimpin. Keefektifan
kepemimpinan banyak tergantung pada perilaku yang diterapkan pemimpin
dalam situasi organisasi. Untuk itu, muncul teori-teori yang bertolak
dari pendekatan perilaku yang dikenal dengan istilah behavior theory.
Teori kepemimpinan
berdasarkan pendekatan perilaku tersebut tidak didasarkan pada sifat
atau ciri-ciri kepribadian seseorang, tapi lebih cenderung berdasarkan
perilaku atau proses kepemimpinan yang ditunjukkan dalam organisasi yang
dipimpin. Kualitas kepemimpinan tidak dinilai dari karakter personal,
tapi lebih ditekankan pada fungsi, peranan, atau perilaku yang
ditampilkan dalam kelompok. Salah satu teori kepemimpinan yang
dikembangkan berdasarkan perilaku adalah teori kepemimpinan dua dimensi
(two dimensional theory).
Berdasarkan teori
kepemimpinan dua dimensi, gaya kepemimpinan itu mengacu pada dua sisi,
yaitu sisi tugas atau hasil, dan sisi hubungan manusia atau proses. Gaya
kepemimpinan yang berorientasi pada tugas (task oriented) adalah gaya
kepemimpinan yang lebih menekankan pada tugas atau pencapaian hasil.
Gaya kepemimpinan ini ditandai dengan penekanan pada penyusunan rencana
kerja, penetapan pola, penetapan metode dan prosedur pencapaian tujuan.
Sedangkan gaya kepemimpinan yang berorientasi pada hubungan manusia
(people oriented) adalah gaya kepemimpinan yang meneknakan pada hubungan
kemanusiaan dengan bawahan. Gaya kepemimpinan ini ditandai dengan
penekanan pada hubungan kesejawatan, saling mempercayai, saling
menghargai, dan kehangatan hubungan antar anggota (Owens, 1991).
Banyak ahli yang
mengkaji teori kepemimpinan dua dimensi dengan istilah yang
berbeda-beda. Cartwright dan Zander menggunakan istilah pencapaian
tujuan (goal achievement), dan pertahanan kelompok (group maintenance).
Halpin dan Winner mengemukakan dengan istilah struktur inisiasi
(initiating structure) dan konsiderasi (consideration). Danil Cartz
menyebut dengan istilah orientasi pada produksi (production oriented)
dan orientasi pada pekerja (employee oriented). Likert menyebut dengan
istilah berpusat pada tugas (job centered) dan berpusat pada pekerja
(employee centered). Blake dan Mouton menggunakan istilah perhatian pada
aspek hasil (concern for production) dan perhatian pada aspek manusia
(concern for people) (Owens, 1991).
Semua istilah dimensi
kepemimpinan tersebut, oleh Hoy dan Miskel (1987) diklasifikasi menjadi
dua, yaitu perhatian pada organisasi (concern for organization) dan
perhatian pada hubungan individual (concern for individual
relationship).
Ada beberapa ciri
perilaku yang menunjukkan gaya kepemimpinan yang berorientasi pada tugas
dan hubungan manusia. David dan Sheasor mengemukakan empat ciri, yaitu
memberikan dukungan, menjalin interaksi, merancang tugas-tugas dan
menetapkan tujuan (Hoy dan Miskel, 1987). Dua komponen menunjukkan
perilaku kepemimpinan yang berorientasi pada tugas, yaitu merancang
tugas-tugas dan menetapkan tujuan. Dua komponen menunjukkan perilaku
kepemimpinan yang berorientasi pada hubungan manusia, yaitu memberikan
dukungan dan menjalin interaksi.
Di sisi lain, Halpin
mengemukakan delapan komponen. Empat komponen menunjukkan perilaku
kepemimpinan yang berorientasi pada tugas, yaitu menetapkan peranan,
menetapkan prosedur kerja, melakukan komunikasi satu arah, dan mencapai
tujuan organisasi. Empat komponen menunjukkan perilaku yang berorientasi
pada hubungan manusia, yaitu menjalin hubungan akrab, menghargai
anggota, bersikap hangat dan menaruh kepercayaan kepada anggota (Hoy dan
Miskel, 1987).
Berdasarkan beberapa
pendapat tersebut, dapat digarisbawahi karakteristik perilaku gaya
kepemimpinan yang berorientasi pada tugas adalah melakukan komunikasi
satu arah, menyusun rencana kerja, merancang tugas-tugas, menetapkan
prosedur kerja, dan menekankan pencapaian tujuan organisasi. Sedangkan
karakteristik perilaku gaya kepemimpinan yang berorientasi pada hubungan
manusia adalah menjalin hubungan yang akrap, menghargai anggota,
bersikap hangat, dan menaruh kepercayaan kepada anggota.
Berdasarkan dua orientasi kepemimpinan tersebut, selanjutnya gaya kepemimpinan bisa diklasifikasi menjadi empat, yaitu:
- Task oriented leadership, yakni gaya kepemimpinan yang berorientasi tinggi pada tugas, dan rendah pada hubungan manusia,
- Relationship oriented leadership, yakni gaya kepemimpinan yang berorientasi tinggi pada hubungan manusia, tetapi rendah pada tugas,
- Integrated leadership, yakni gaya kepemimpinan yang beroirientasi tinggi pada tugas dan hubungan manusia, dan
- Impoverished leadership, yakni gaya kepemimpinan yang berorientasi rendah pada tugas dan hubungan manusia (Rossow, 1990). .
Pada perkembangan
selanjutnya, diketahui bahwa tidak setiap organisasi bisa digunakan
pendekatan kepemimpinan yang sama. Beberapa hasil penelitian menunjukkan
bahwa orientasi kepemimpinan yang menekankan pada orang cenderung lebih
efektif. Beberapa penelitian lain menunjukkan bahwa orientasi
kepemimpinan yang menekankan pada tugas justru lebih efektif (Feldmon
& Arnold, 1983; Hoy & Miskel, 1987; Gorton, 1991). Hal ini
disebabkan oleh karakteristik organisasi yang berbeda.
Berdasarkan landasan
tersebut, lalu dikembangkan pendekatan kepemimpinan baru yang dikenal
dengan pendekatan kepemimpinan situasional. Kepemimpinan yang efektif
adalah kepemimpinan yang bisa menyesuaikan dengan kondisi dan situasi
organisasi. Beberapa komponen yang perlu dipertimbangkan adalah keadaan
bawahan, tuntutan pekerjaan, dan lingkungan organisasi itu sendiri
(Newell, 1978).
Selanjutnya ada banyak
teori kepemimpinan yang mempertimbangkan faktor situasi organisasi.
Beberapa teori yang cukup dominan, antara lain sistem manajemen yang
dikembangkan Likert, teori kepemimpinan tiga dimensi yang dikembangkan
Reddin, teori kepemimpinan kontingensi yang dikembangkan Fiedler, teori
kontingensi normatif yang dikembangkan oleh Vroom dan Yetton, teori
substitutes yang dikembangkan oleh Kerr dan Jermier, teori path goal
yang dikembangkan House, dan teori kepemimpinan situasional yang
dikembangkan oleh Hersey dan Blanchard (Owens, 1981; Hoy & Miskel,
2005).
Berdasarkan teori
kepemimpinan situasional, yang menekankan bahwa keberhasilan
kepemimpinan ditentukan oleh perilaku pemimpin dan faktor-faktor
situasional organisasi, seperti jenis pekerjaan, lingkungan organisasi,
dan karakteristik individu yang terlibat dalam organisasi. Tidak ada
satu gaya kepemimpinan yang paling efektif untuk semua organisasi.
Kepemimpinan yang efektif adalah perilaku kepemimpinan yang sesuai
dengan karakteristik organisasi, terutama kondisi kematangan bawahan.
Pada perkembangan
selanjutnya, diketahui bahwa keberhasilan kepemimpinan tidak hanya
ditekankan pada perilaku yang ditampilkan pimpinan dalam kelompok,
tetapi perlu ditelaah dari sisi perilaku yang ditampilkan anggota dalam
organisasi. Untuk itu, pimpinan harus bisa mentransformasi nilai kepada
bawahan untuk mencapai tujuan organisasi. Salah satu pendekatan
kepemimpinan yang dikembangkan adalah kepemimpinan transformasional.
Dalam mengelola sekolah,
kepala sekolah dasar bisa memilih teori dan menerapkan gaya
kepemimpinan yang tepat dari beberapa gaya kepemimpinan yang ada sesuai
dengan karakter pribadi, dan kondisi organisasi sekolah yang dipimpin.
Yang penting kepala sekolah dasar, harus bisa menampilkan peranan
kepemimpinan yang baik. Berkaitan dengan peranan kepemimpinan kepala
sekolah tersebut, Sergiovanni (1991) mengemukakan enam peranan
kepemimpinan kepala sekolah, yaitu kepemimpinan formal, kepemimpinan
administratif, kepemimpinan supervisi, kepemimpinan organisasi, dan
kepemimpinan tim. Kepemimpinan formal mengacu pada tugas kepala sekolah
untuk merumuskan visi, misi dan tujuan organisasi sesuai dengan dasar
dan peraturan yang berlaku. Kepemimpinan administratif, mengacu pada
tugas kepala sekolah untuk membina administrasi seluruh staf dan anggota
organisasi sekolah. Kepemimpinan supervisi mengacu pada tugas kepala
sekolah untuk membantu dan membimbing anggota agar bisa melaksanakan
tugas dengan baik. Kepemimpinan organisasi mengacu pada tugas kepala
sekolah untuk menciptakan iklim kerja yang kondusif, sehingga anggota
bisa bekerja dengan penuh semangat dan produktif. Kepemimpinan tim
mengacu pada tugas kepala sekolah untuk membangun kerja sama yang baik
diantara semua anggota agar bisa mewujudkan tujuan organisasi sekolah
secara optimal.
0 komentar:
Posting Komentar